Rabu, 06 Maret 2013

BERAWAL DARI SEBUAH MIMPI



BERAWAL DARI SEBUAH MIMPI
Oleh: Marselina Suryani Tanus

Pertemuan yang tak disengaja sekitar 2 tahun yang lalu. Saat itu saya mengikuti kegiatan jurnalisme warga (Bukan kegiatan kampus). Kelas Jurnalisme Warga ini merupakan kegiatan berkala yang dilakukan oleh Sloka Institute yang tujuan nya adalah memberikan pengetahuan dasar jurnalistik untuk warga sehingga pada akhirnya warga juga bisa ikut berpartisipasi menuliskan berita (bukan sebagai objek semata). Kelas jurnalisme warga ini sangat berkesan saat nara sumber menghadirkan sosok gadis remaja yang kira-kira berusia 14 tahun saat itu. Dalam hati saya bertanya-tanya, siapa dia? wajahnya tidak familiar? ini pertama kali saya melihatnya, begitu pikir saya saat itu. Turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang ibu & adik kecil, mereka berjalan beriringan menuju ke tempat dimana kegiatan ini dilaksanakan. Semua mata memandang & mungkin bukan hanya saya yang bertanya-tanya tapi semua yang melihatnya pasti akan bertanya-tanya, siapa dia? dan untuk apa mereka disini? Sebagai nara sumber kah? Atau ??? banyak pertanyaan muncul dalam benak saya saat itu. Saya pun menyerah untuk tidak menerka-nerka & menunggu tahap perkenalan tentang nya.

Ni Wayan Mertayani (Sepi)




Nama gadis  remaja ini  Ni Wayan Mertayani. Seorang remaja 14 tahun asal Bali. Ni Wayan Mertayani ini biasa dipanggil Sepi.Yang datang bersamanya saat itu adalah ibunya yang akrab dipanggil Meme Kirem & adiknya yang bernama Jati. Sepi tinggal dengan ibu dan adik perempuannya di pondok kecil di pesisir pantai Amed Karangasem dengan segala keterbatasannya. Perkenalan singkat itu berlanjut dengan cerita sepi tentang dirinya. Sepi begitu sapaan akrab nya, berasal dari keluarga miskin. Ibunya, I Nengah Kirem, (52) sudah bertahun-tahun menderita ginjal dan harus bekerja serabutan. Ayahnya  Wayan telah meninggal sejak dia berumur tiga tahun. Mereka tinggal di gubuk berdinding bilik bambu dengan satu kamar tidur. Untuk menopang kehidupannya, tiap sore hingga gelap menyergap, pelajar yang waktu itu duduk di kelas III SMP Negeri 2 Abang, Karangasem (sekarang sudah SMA), berjualan permen, kue jajanan, dan makanan kecil lain di Pantai Amed, salah satu pusat wisata di bagian timur Karangasem (Bali) selain itu sepi memiliki side job sebagai pemulung. Masalah financial pernah membuatnya hampir putus sekolah karena tidak punya uang untuk biaya. Namun semangatnya yang tinggi membuat hal tersebut tak menjadi penghalang untuk terus melanjutkan pendidikan.
Luaarr biasaa, kagum saat mendengar itu, & membuat saya penasaran tentang kelanjutan cerita hidupnya.Sepi memiliki hobby membaca. Di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Sepi biasa meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik Marry Johana Fardan, tetangganya. Kebaikan tetangganya ini, yang memperkenankan Sepi untuk membaca buku-buku, tak ia sia-siakan begitu saja. Membaca dan terus membaca apa saja yang ia senangi. Sampai ia berangan-angan jadi seorang wartawan, “Mimpi aku adalah jadi seorang penulis,” kata Ni Wayan yang sangat mengagumi Andrea Hirata ini, tentang cita-citanya. Cita-cita itu muncul setelah dia membaca buku Catatan Harian Anne Frank, The Diary of Anne Frank,. Sepi meminjam novel dari tetangganya yang biasa dipanggil Bu Marie itu , warga Belanda pemilik vila Sinar Cinta di pantai Amed. Sepi mengaku langsung jatuh cinta pada cerita Anne Frank, gadis Yahudi korban kekejaman Nazi. Frank bersembunyi dari kekejaman Nazi selama dua tahun sejak tahun 1942. Frank menulis cerita harian yang kemudian diterbitkan dalam berbagai bahasa termasuk Indonesia. “Saya merasa hidup saya sama dengan cerita Anne Frank”, begitu kata sepi. Buku cerita Anne Frank ini awal dari mimpi besar Sepi menjadi seorang wartawan & impiannya untuk bisa ke belanda. Suatu hari, Tuhan mempertemukan Ni Wayan Mertayani dengan seorang wisatawan Belanda, Dolly Amarhoseija. Entah hal apa yang membuat Dolly tertarik  dengan Sepi, yang jelas sejak pertemuan itu hubungan mereka jadi baik dan begitu dekat. Sampai-sampai, Dolly sang wisatawan yang selalu membawa kamera foto kemana-mana itu, memberi kesempatan Sepi untuk “jepret-jepret” dengan kameranya. Entah Dolly melihat ada ketertarikan Sepi terhadap jepret-menjepret, ataukah memang Sepi punya bakat dengan kamera foto, faktanya hari demi hari, Dolly dengan senang hati mengajari Sepi dasar-dasar teknik memotret. Akhirnya Dolly pun meminjamkan Sepi sebuah kamera. Sejak saat itu, Sepi tak henti-hentinya berburu foto, jepret sana, jepret sini, disela-sela menjajakan kue jualannya. Ia pun mulai mengamati setiap hasil jepretannya, dan terus menambah wawasannya dengan tetap banyak membaca. Dan suatu ketika, Dolly memberitahunya tentang lomba foto yang diadakan oleh Museum Anne Frank, Belanda. Sepi sangat tertarik dan ingin mengikutinya. Dolly memberikan pinjaman kamera dan menyuruh sepi untuk membuat sebuah foto dengan tema : “Apa Harapan Terbesarmu.” 
 
Foto Ni Wayan Mertayani


Dengan bermodalkan kamera pinjaman dan teknik memotret seadanya, Sepi terus mencari objek yang menurutnya sesuai dengan tema, hingga ia sampai membuat 15 foto. Sepi mengambil 15 foto dari sekitarnya seperti ayam, telur, kamar, dapur, dan ayam di atas pohon. Jepretan terakhirnya adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya Lalu ia memilih hasil jepretan yang terakhir ini , sebagai foto yang akan diikutkannya pada lomba tersebut. Melalui Marie Johana Fardan (pemilik vila Sinar Cinta di Pantai Amed yang juga tetangganya itu), Sepi mengirimkan karya fotonya ke Museum Anne Frank di Belanda. Dua bulan berselang, seperti mimpi di siang bolong sepi mendapat kabar kalau fotonya menang. Foto sederhananya  itu memikat 12 fotografer kelas dunia dari World Press Photo yang menjadi juri lomba foto internasional yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Tema lomba yang yang diikuti 200 peserta itu adalah “Apa Harapan Terbesarmu?”. Dua belas juri dari World Press Photo mengatakan, semua unsur dalam foto Wayan bekerja sangat bagus. “The shape of the tree, the one chicken up in the branches, the color and light. They all work in its favor. All of this relays the photographer’s reality through subtle symbolism,” tulis juri di dalam website resmi Yayasan Anne Frank.
“Melalui foto itu, Wayan tak hanya memperlihatkan dunianya, tapi juga cita-citanya sebagai wartawan,” tambah Annemarie Backer dari Yayasan Anne Frank. Sepi sendiri mengatakan ayam yang sedang bertengger di atas pohon saat itu memang menarik perhatiannya. “Ayam itu menggambarkan kehidupan saat ini sekaligus cita-cita saya,” katanya menjelaskan. Ayam itu simbolisasi diri dan kehidupannya.“Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan kehujanan. Sama seperti saya,” ujarnya. Luaar biasa… Sepi mengaku tidak menyangka fotonya akan menang. Tapi, itulah kenyataannya, fotonya terpilih menjadi Juara I pada lomba foto Museum Anne Frank tersebut, menyisihkan tak kurang dari 200 peserta dari seluruh dunia. Sepi pun berkesempatan terbang ke Belanda untuk menerima penghargaan serta segala sesuatu yang menjadi haknya sebagai sang juara. Duniapun terkesima, mungkin peserta lainpun tak akan percaya, ketika mengetahui sang juara yang telah mengalahkan mereka adalah seorang anak kecil…dari Indonesia. Apalagi jika mengetahui latar belakang seorang Sepi yang hidup dari kalangan serba kekurangan, mungkin mereka akan berpikir, “ini mestinya hanya terjadi dalam mimpi.” (Kompas.com). Ni Wayan Mertayani, (Sepi), tentu sangat bangga dengan semua ini. Namun bangsa yang katanya besar ini mestinya lebih bangga lagi. Punya seorang warga kecil yang mungkin “tak pernah” diurus , si kecil pemulung itu telah berkontribusi membesarkan nama bangsa ini. 
Sepi & adiknya saat menerima penghargaan di Belanda




Negeri Kincir Angin menjadi tempat pertama Sepi mengenal dunia di luar Bali. Dia mengaku senang bisa menjejakkan kaki di Belanda. “Saya semakin yakin untuk menjadi wartawan setelah berkunjung ke Belanda,” katanya. Sepi berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita-citanya menjadi jurnalis dan ingin membahagiakan ibunya adalah salah satu impian besarnya. (Semoga terwujud adik manis)… kamu pasti bisa, Indonesia bangga memilikimu. Kisah perjalanan hidup Ni Wayan Mertayani  telah dibukukan oleh Pande Komang Suryanita, penulis buku berjudul “Potret Terindah dari Bali”. Materi buku mengungkapkan sisi kehidupan gadis yang biasa dipanggil dengan Ni Wayan atau Sepi itu. Pelajaran penting dari kisah sepi adalah “"Saya memang tidak punya apa-apa tapi saya memiliki cita-cita yang tinggi". Jangan pernah menjadikan keadaan sebagai halangan untuk bermimpi dan untuk meraih mimpi menjadi kenyataan. Segala keterbatasan mampu mengantarkan kita pada suatu kesuksesan yang berawal dari sebuah mimpi, keyakinan & ditindaklanjuti dengan usaha untuk mewujudkannya.
Tulisan ini terinpirasi dari pertemuan awal saya dengan Sepi 2 tahun yang lalu, tayangan acara televisi Kick Andy pada tanggal 1 Mei 2011 (yang menampilkan tayangan tentang kisah  kemenangan Ni Wayan Mertayani (Sepi), seorang gadis desa di ajang  perlombaan foto internasional di belanda) & kisah menarik tentang sepi & ibunya dari cerita seorang sahabat saya (Nancy) yang tergabung dalam komunitas suara sandal jepit yang dapat menginspirasi banyak orang tentang kaum ‘pinggiran’ yang sangat inspiratif.. Terima Kasih

Semoga bermanfaat .. (Denpasar, 6 Maret 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar