BERAWAL
DARI SEBUAH MIMPI
Oleh:
Marselina Suryani Tanus
Pertemuan
yang tak disengaja sekitar 2 tahun yang lalu. Saat itu saya mengikuti kegiatan
jurnalisme warga (Bukan kegiatan kampus). Kelas Jurnalisme Warga
ini merupakan kegiatan berkala yang dilakukan oleh Sloka
Institute yang tujuan nya adalah memberikan pengetahuan dasar
jurnalistik untuk warga sehingga pada akhirnya warga juga bisa ikut
berpartisipasi menuliskan berita (bukan sebagai objek semata). Kelas jurnalisme
warga ini sangat berkesan saat nara sumber menghadirkan sosok gadis remaja yang
kira-kira berusia 14 tahun saat itu. Dalam hati saya bertanya-tanya, siapa dia?
wajahnya tidak familiar? ini pertama kali saya melihatnya, begitu pikir saya
saat itu. Turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang ibu & adik kecil,
mereka berjalan beriringan menuju ke tempat dimana kegiatan ini dilaksanakan.
Semua mata memandang & mungkin bukan hanya saya yang bertanya-tanya tapi
semua yang melihatnya pasti akan bertanya-tanya, siapa dia? dan untuk apa
mereka disini? Sebagai nara sumber kah? Atau ??? banyak pertanyaan muncul dalam
benak saya saat itu. Saya pun menyerah untuk tidak menerka-nerka & menunggu
tahap perkenalan tentang nya.
Ni Wayan Mertayani (Sepi) |
Luaarr biasaa,
kagum saat mendengar itu, & membuat saya penasaran tentang kelanjutan
cerita hidupnya.Sepi memiliki hobby membaca. Di sela kehidupan keras yang
dilaluinya, Sepi biasa meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik
Marry Johana Fardan, tetangganya. Kebaikan tetangganya ini, yang memperkenankan
Sepi untuk membaca buku-buku, tak ia sia-siakan begitu saja. Membaca dan terus
membaca apa saja yang ia senangi. Sampai ia berangan-angan jadi seorang
wartawan, “Mimpi aku adalah jadi seorang penulis,” kata Ni Wayan yang
sangat mengagumi Andrea Hirata ini, tentang cita-citanya. Cita-cita itu muncul
setelah dia membaca buku Catatan Harian Anne Frank, The Diary of Anne Frank,.
Sepi meminjam novel dari tetangganya yang biasa dipanggil Bu Marie itu , warga
Belanda pemilik vila Sinar Cinta di pantai Amed. Sepi mengaku langsung jatuh
cinta pada cerita Anne Frank, gadis Yahudi korban kekejaman Nazi. Frank
bersembunyi dari kekejaman Nazi selama dua tahun sejak tahun 1942. Frank
menulis cerita harian yang kemudian diterbitkan dalam berbagai bahasa termasuk
Indonesia. “Saya merasa hidup saya sama dengan cerita Anne Frank”,
begitu kata sepi. Buku cerita Anne Frank ini awal dari mimpi besar Sepi menjadi
seorang wartawan & impiannya untuk bisa ke belanda. Suatu hari, Tuhan
mempertemukan Ni Wayan Mertayani dengan seorang wisatawan Belanda, Dolly
Amarhoseija. Entah hal apa yang membuat Dolly tertarik dengan Sepi, yang
jelas sejak pertemuan itu hubungan mereka jadi baik dan begitu dekat.
Sampai-sampai, Dolly sang wisatawan yang selalu membawa kamera foto kemana-mana
itu, memberi kesempatan Sepi untuk “jepret-jepret” dengan kameranya. Entah
Dolly melihat ada ketertarikan Sepi terhadap jepret-menjepret, ataukah memang
Sepi punya bakat dengan kamera foto, faktanya hari demi hari, Dolly dengan
senang hati mengajari Sepi dasar-dasar teknik memotret. Akhirnya Dolly pun
meminjamkan Sepi sebuah kamera. Sejak saat itu, Sepi tak henti-hentinya berburu
foto, jepret sana, jepret sini, disela-sela menjajakan kue jualannya. Ia pun
mulai mengamati setiap hasil jepretannya, dan terus menambah wawasannya dengan
tetap banyak membaca. Dan suatu ketika, Dolly memberitahunya tentang lomba foto
yang diadakan oleh Museum Anne Frank, Belanda. Sepi sangat tertarik dan ingin
mengikutinya. Dolly memberikan pinjaman kamera dan menyuruh sepi untuk
membuat sebuah foto dengan tema : “Apa Harapan Terbesarmu.”
|
Dengan bermodalkan kamera pinjaman
dan teknik memotret seadanya, Sepi terus mencari objek yang menurutnya sesuai
dengan tema, hingga ia sampai membuat 15 foto. Sepi mengambil 15 foto dari
sekitarnya seperti ayam, telur, kamar, dapur, dan ayam di atas pohon. Jepretan
terakhirnya adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang
tumbuh di depan rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta
handuk berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya Lalu
ia memilih hasil jepretan yang terakhir ini , sebagai foto yang akan
diikutkannya pada lomba tersebut. Melalui Marie Johana Fardan (pemilik vila
Sinar Cinta di Pantai Amed yang juga tetangganya itu), Sepi mengirimkan karya
fotonya ke Museum Anne Frank di Belanda. Dua bulan berselang, seperti mimpi di
siang bolong sepi mendapat kabar kalau fotonya menang. Foto sederhananya
itu memikat 12 fotografer kelas dunia dari World Press Photo yang menjadi
juri lomba foto internasional yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Tema
lomba yang yang diikuti 200 peserta itu adalah “Apa Harapan Terbesarmu?”.
Dua belas juri dari World Press Photo mengatakan, semua unsur
dalam foto Wayan bekerja sangat bagus. “The shape of the tree, the one
chicken up in the branches, the color and light. They all work in its favor.
All of this relays the photographer’s reality through subtle symbolism,”
tulis juri di dalam website resmi Yayasan Anne Frank.
“Melalui
foto itu, Wayan tak hanya memperlihatkan dunianya, tapi juga cita-citanya
sebagai wartawan,” tambah Annemarie Backer dari
Yayasan Anne Frank. Sepi sendiri mengatakan ayam yang sedang bertengger di atas
pohon saat itu memang menarik perhatiannya. “Ayam itu menggambarkan
kehidupan saat ini sekaligus cita-cita saya,” katanya menjelaskan. Ayam itu
simbolisasi diri dan kehidupannya.“Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan
kehujanan. Sama seperti saya,” ujarnya. Luaar biasa… Sepi mengaku tidak
menyangka fotonya akan menang. Tapi, itulah kenyataannya, fotonya terpilih
menjadi Juara I pada lomba foto Museum Anne Frank tersebut, menyisihkan tak
kurang dari 200 peserta dari seluruh dunia. Sepi pun berkesempatan terbang ke
Belanda untuk menerima penghargaan serta segala sesuatu yang menjadi haknya
sebagai sang juara. Duniapun terkesima, mungkin peserta lainpun tak akan
percaya, ketika mengetahui sang juara yang telah mengalahkan mereka adalah
seorang anak kecil…dari Indonesia. Apalagi jika mengetahui latar belakang
seorang Sepi yang hidup dari kalangan serba kekurangan, mungkin mereka akan
berpikir, “ini mestinya hanya terjadi dalam mimpi.” (Kompas.com). Ni Wayan
Mertayani, (Sepi), tentu sangat bangga dengan semua ini. Namun bangsa yang
katanya besar ini mestinya lebih bangga lagi. Punya seorang warga kecil yang
mungkin “tak pernah” diurus , si kecil pemulung itu telah berkontribusi
membesarkan nama bangsa ini.
Sepi & adiknya saat menerima penghargaan di Belanda |
|
Negeri Kincir Angin menjadi tempat
pertama Sepi mengenal dunia di luar Bali. Dia mengaku senang bisa menjejakkan
kaki di Belanda. “Saya semakin yakin untuk menjadi wartawan setelah
berkunjung ke Belanda,” katanya. Sepi berharap bisa menyelesaikan sekolah
dan mewujudkan cita-citanya menjadi jurnalis dan ingin membahagiakan ibunya
adalah salah satu impian besarnya. (Semoga terwujud adik manis)… kamu pasti
bisa, Indonesia bangga memilikimu. Kisah perjalanan hidup Ni Wayan Mertayani
telah dibukukan oleh Pande Komang Suryanita, penulis buku berjudul “Potret
Terindah dari Bali”. Materi buku mengungkapkan sisi kehidupan gadis yang
biasa dipanggil dengan Ni Wayan atau Sepi itu. Pelajaran penting dari kisah
sepi adalah “"Saya memang tidak punya apa-apa tapi saya memiliki
cita-cita yang tinggi". Jangan pernah menjadikan keadaan sebagai
halangan untuk bermimpi dan untuk meraih mimpi menjadi kenyataan. Segala
keterbatasan mampu mengantarkan kita pada suatu kesuksesan yang berawal dari
sebuah mimpi, keyakinan & ditindaklanjuti dengan usaha untuk mewujudkannya.
Tulisan ini
terinpirasi dari pertemuan awal saya dengan Sepi 2 tahun yang lalu, tayangan
acara televisi Kick Andy pada tanggal 1 Mei 2011 (yang menampilkan tayangan
tentang kisah kemenangan Ni Wayan Mertayani (Sepi), seorang gadis desa di
ajang perlombaan foto internasional di belanda) & kisah menarik
tentang sepi & ibunya dari cerita seorang sahabat saya (Nancy) yang
tergabung dalam komunitas suara sandal jepit yang dapat menginspirasi banyak
orang tentang kaum ‘pinggiran’ yang sangat inspiratif.. Terima Kasih
Semoga
bermanfaat .. (Denpasar, 6 Maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar